Percepatan Penurunan Angka Kemiskinan di Sumsel, Lewat Peningkatan Jumlah Perpustakan

Kepala Dinas Perpustakaan Sumsel Mislena

GoSumsel – Percepatan penurunan angka kemiskinan di Sumsel dapat dibantu oleh jumlah perpustakaan desa berbasis inklusi sosial yang beroperasi, menurut Kepala Dinas Perpustakaan Sumsel Mislena, adanya perpustakaan akan mencapai SDM yang berkualitas di masa yang akan datang.

“Selama ini keberadaan perpustakaan dipandang sebelah mata, sejalan dengan keinginan pak Gubernur yang ingin angka kemiskinan Sumsel menjadi satu digit salah satunya dengan menambah dan memberdayakan perpustakaan,” ungkap dia ketika dijumpai di Hotel Beston usai pertemuan dengan pihak Perpustakaan Nasional, Selasa (3/9).

Karena itu pihaknya bersama Perpustakaan Nasional mengupayakan membangun perpustakaan berbasis inklusi di desa-desa Kabupaten yang belum memiliki perpustakaan.

“Tahun ini Sumsel membangun perpustakaan di 3 Kabupaten 3 Desa yaitu Kabupaten OKI, Musirawas, dan Banyuasin. Dengan bantuan Bapenas (Badan Perpustakaan Nasional) Perpustakaan akan terfasilitasi oleh Komputer, rak buku, termasuk pelatihan pengelolanya agar misi Pemprov Sumsel terus berlanjut,” kata dia.

Pengadaan perpustakaan desa menggunakan dana APBD dengan kisaran Rp70 juta untuk satu perpustakaan desa dan sebagian dana Desa. “Dari 3000 an desa di Sumsel, baru 400 desa yang punya perpus perjalanannya masih panjang,” singkatnya.

Ditempat yang sama, Sudarto selaku perwakilan dari Perpustakaan Nasional menambahkan, kendala rata-rata adalah bagaimana perpus dapat menarik minat pengunjung. Karena itu, perpustakaan harus berubah transformasi dan update melalui kegiatan di perpustakaan.

“Literasi memiliki peranan penting untuk mendorong kesejahteraan masyarakat. Di sinilah perpustakaan berperan penting melalui literasi. Literasi untuk orang dewasa bahkan bisa menghasilkan manfaat melampaui hasil di sekolah,” ucapnya.

Lanjut dia, perpustakaan berbasis Inklusi sosial merupakan perpustakaan yang memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensinya dengan melihat keragaman budaya, kemauan untuk menerima perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya dan hak azazi manusia.

“Kalau selama ini perpustakaan hanya menunggu pengunjung, sekarang kota yang buat kegiatan supaya masyarakat tertarik,” tutupnya.(gS/dy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *