Potensi Radikalisme Perguruan Tinggi Capai 35 Persen

Wakil Direktur 1 Polsri Carlos RS, MT

GoSumsel – Potensi radikalisme yang mengarah terioris di Perguruan tinggi secara nasional potensinya mencapai 39 persen, Bahkan di Sumsel berdasarkan penelitian yang di lakukan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumsel, potensi radikal di kampus menunjukan angka 55, 6 persen.

“Dan ini harus menjadi perhatian dan jangan sampai akademisi terpapar radikalisme. Apalagi mahasiswa rentan terpapar radikalisme,”ujar Ketua FKPT Sumsel Dr Feriansyah dalam Dialog Pelibatan Civitas Akademika dalam Pencegahan Terorisme Melalui FKPT Sumsel, dengan tema “Jaga Kampus Kita” di Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang, (1/10).

Ia mengatakan bahwa FKPT Sumsel terus mendorong dan berpastisi pasi dalam menanggulangi terosisme dengan mendorong dan mengajak semua pihak, pemuda, pemkab, pemkot, kalangan akademisi, tokoh masyarakat dan sebagainya.

Meskipun di Sumsel termasuk aman, namun paham radikal bisa tumbuh dan muncul dimana saja, tidak hanya pria dewasa, namun juga saat ini juga terlibat perempuan dan anak-anak, seperti beberapa waktu lalu di Surabaya.

Selain masyarakat biasa, bukan tidak mungkin akademisi bisa berpotensi terpapar radikalisme, makanya civitas academica harus terlibat dalam pencegahan. Jangan sampai mahasiswa terlibat terorisme.

“Dialog seperti yang kita lakukan ini, salah satu bentuk pertanggungjawaban kita semua agar negara Indonesia lebih baik, bebas dari terorisme,” ungkapnya

Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Ir Hamli ME mengatakan Indonesia perlu bersyukur masih memiliki negara, dibandingkandi negara lain, terutama di timur tengah, seperti di Suriah yang koplik berkempanjangan dan sebagainya.

“Namun kita juga perlu waspada, bahwa anacaman kelompok teror tatap ada,” katanya.

Menurutnya banyak pemicu sikap dan tindakan aksiterorisme. Menurut hasil penelitian yang ia ungkapkan, penelitian itu dilakukan 2012 lalu oleh Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP).

“45, 5 persen motif aksi teror karena idiologi agama, 20 persen karena solidaritas kumunal atau komunitas, 12, 7 persen karena mob metality, 10,9 persen karena ingin balas dendam, 9,1 persen karena situasional, bisa karena ekonomi dan sebagainya, sedang 1,8 persen karena sparatisme,” kata Hamli saat memberikan materi pada peserta dialog.

Menurutnya aksi terorisme juga ada proses, yang pertama di mulai dari intoleransi. Ini merupakan orientasi negatif, atau sikap menolak hak-hak politik dan sosual yang tidak disetujui.

Lalu meningkat menjadi sikap radikalisme. Ini merupakan suatu ideologi atau gagasan yang ingin melakukan suatu sistem sosial dan politik dengan cara kekerasan. “Ada beberpa poin pada kelompok radikan yaitu anti pancasila, menyuburkan sikap intoleransi, anti NKRI, menyebarkan paham takfiri, serta menyebabkan distras bangsa,” katanya.

Setelah itu baru meningkat ke level terorisme. “Ini adalah sudah merupakan tindakan yang mengunakan kekerasan. Sehingga menyebar rasa takut secata meluas,” pungkasnya.

Sementara itu dikatakan Wakil Direktur 1 Polsri Carlos RS, MT mengatakan bahwa civitas akademika terus berupaya memberikan pengawasan terhadap mahasiswa agar tak terpapar radikalisme.

“Salah satu bentuknya adalah melalui kegiatan, edukasi, yang muaranya kegiatan preventif. Saya kira radikalisme di Polsri masih skala kecil dibanding Universitas lain, seperti yang terjadi di Surabaya misalnya,”terangnya.

Terkait kegiatan organisasi mahasiswa (Ormawa) yang kemudian perlu diawasi menurutnya pihak kampus juga telah melakukan pengawasan melalui bidang kemahasiswaan. “Jadi setiap UKM ada pembina dan ada pembimbingnya,”pungkasnya.(gS/dy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *